Media sosial telah membuka era baru bagi tenis: masa ketika popularitas dibangun sama besar di lapangan maupun di Instagram. Namun sampai sejauh mana pencarian visibilitas ini dapat berlangsung tanpa menggoyahkan keseimbangan para pemain?
Tenis nyaris tak pernah berhenti. Di balik rangkaian turnamen tanpa henti, para juara harus belajar berhenti demi bertahan lama. Dari Federer hingga Alcaraz, investigasi tentang beberapa minggu krusial ketika segalanya dipertaruhkan: istirahat, pelepasan, kelahiran kembali.
Dari saudari Williams hingga Alizé Cornet, dari sponsor hingga sirkuit ATP dan WTA, perdebatan tentang kesetaraan upah dalam tenis tidak pernah sepanas ini. Di antara kemajuan yang tak terbantahkan dan ketimpangan yang masih bertahan, olahraga raket nomor satu ini berhadapan dengan kontradiksinya sendiri.
Dalam kesaksian tanpa filter, David Nalbandian mengungkit final Piala Davis 2008. Antara kelelahan, ketidaksepakatan, dan keputusan kontroversial, Argentina, menurutnya, melewatkan gelar yang sebenarnya dalam genggaman.
Baru berusia 22 tahun, Carlos Alcaraz baru saja melampaui sebuah capaian. Pemain Spanyol itu telah mencapai 50 minggu sebagai nomor 1 dunia, ambang mitos yang hanya diperuntukkan bagi segelintir orang terpilih.
Roger Federer menandatangani kembalinya yang tak terduga sekaligus menggembirakan: pemain Swiss itu akan kembali menginjakkan kaki di lapangan Australia Open, dikelilingi oleh tiga mantan nomor 1 dunia lainnya. Momen nostalgia dan keajaiban yang tidak ingin dilewatkan oleh para penggemar.